
Indeks Kesejahteraan Rakyat: Pendapatan dan Pengeluaran di DKI Jakarta 2022
Meski alami fluktuasi, tren indeks gini DKI Jakarta sejak Maret 2018 cenderung meningkat dan lebih tinggi dari nasional
Pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat dinilai dari banyak aspek. Beberapa di antaranya meliputi aspek pendapatan, tingkat konsumsi rumah tangga, dan pola konsumsi masyarakat. Pendapatan rumah tangga ini kemudian berkaitan dengan berbagai hal, salah satunya pengeluaran (household expenditure). Besarnya tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi dari rumah tangga tersebut.
Pada 1857, salah satu terobosan besar di dunia ekonomi (dan matematika) terjadi. Saat itu, Ernst Engel, seorang statistikawan berkebangsaan Jerman mencetuskan Hukum Engel (Engel’s law). Menurut Engel, semakin miskin sebuah keluarga, semakin besar juga proporsi dari total pengeluaran yang harus digunakan untuk makan[1]. Singkatnya, peningkatan pendapatan per kapita akan menyebabkan penurunan proporsi pengeluaran konsumsi untuk makanan[2].
Menurut Ensiklopedia Britannica[3], kesimpulan tersebut berdasarkan studi yang ia lakukan kepada 153 keluarga asal Belgia. Studinya tersebut diverifikasi dan diamini oleh sejumlah penyelidikan statistik lainnya tentang perilaku konsumen hingga beberapa tahun setelahnya. Meskipun sudah dicetuskan lebih dari 150 tahun lalu, Hukum Engel hingga kini masih relevan.
Berbicara mengenai Hukum Engel tentunya tidak terlepas dari pengeluaran untuk konsumsi makanan. Di negara maju, persentase pengeluaran untuk makan biasanya berada di bawah 50%, sedangkan di negara berkembang, angkanya di atas 50%. Jika melihat DKI Jakarta sendiri, kondisi masyarakatnya sudah mengikuti pola pengeluaran seperti di negara maju, di mana sebagian besar porsi pengeluarannya dibelanjakan untuk kebutuhan selain makanan. Hal tersebut membuat Jakarta dapat diindikasikan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Indonesia di provinsi lain.
Seperti disampaikan pada awal paragraf, pendapatan saja tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan kondisi kesejahteraan masyarakat. Ada hal lain seperti pemerataan distribusi pendapatan, gini rasio, dan kriteria Bank Dunia.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Gini rasio merupakan indikator yang menujukkan tingkat ketimpangan pengeluaran secara menyeluruh. Angka indeks gini berkisar antara 0 yang berarti pemerataan sempurna hingga 1 yang artinya sangat tidak merata. Mudahnya, semakin angkanya mendekati 1, maka ketimpangan yang ada semakin besar. Sedangkan jika dijabarkan lebih detail, angka gini rasio yang melebihi 0,50 menggambarkan ketimpangan tinggi; 0,4 – 0,5 menggambarkan ketimpangan sedang, sedangkan di bawah 0,4 merupakan ketimpangan rendah.
Berdasarkan pada grafik di atas, dapat dilihat, setidaknya sejak Maret 2018 hingga 2022, angka indeks gini di DKI Jakarta alami tren peningkatan, hingga mencapai puncaknya pada Maret 2022. Menggunakan indikator di atas, setidaknya sejak September 2020, ketimpangan di DKI Jakarta dapat dikategorikan ketimpangan sedang. Naiknya ketimpangan ini disebabkan oleh tingginya kemampuan kelompok penduduk menengah atas memenuhi kebutuhan dan melakukan investasi.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Ukuran ketimpangan berikutnya adalah persentase pendapatan pada kelompok penduduk 40% terbawah atau biasa disebut juga ukuran ketimpangan Bank Dunia. Ukuran ini ditentukan dari tiga kriteria: kelompok 40% bawah terdapat kurang dari 12% total penduduk, maka disebut tinggi; jika proporsi penduduk 40% terendah antara 12-17%, maka disebut sedang/menengah/moderat; sedangkan jika proporsi 30% terendah lebih dari 17%, maka dapat dikatakan ketimpangan rendah.
Grafik di atas menunjukkan, sejak Maret 2020 hingga 2022, ketimpangan di DKI Jakarta masih masuk ke dalam kategori sedang/menengah/moderat. Khususnya pada Maret 2021 dan 2021. Batang berwarna biru di atas menunjukkan, pada Maret 2021 kelompok 40% bawah ada di 16,65 dan pada Maret 2022 ada di 16,60. Dengan angka tersebut, dapat dikategorikan ketimpangan sedang/menengah/moderat.
Agar lebih memudahkan, seperti pada Maret 2022, kelompok 40% bawah atau bisa dikategorikan sebagai penduduk penghasilan rendah, memiliki angka 16,60. Artinya, penduduk penghasilan rendah di Jakarta, hanya menguasai sekitar 16,60% dari total seluruh pendapatan DKI Jakarta. Kelompok 40% menengah juga dapat dikategorikan sebagai penduduk penghasilan menengah, dan 20% atas merupakan kelompok penghasilan tinggi.
Pengeluaran per Kapita menurut Jenisnya
Pengeluaran per kapita dapat diartikan biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota rumah tangga yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli. Data yang dikumpulkan adalah data pengeluaran seminggu atau sebulan yang lalu tergantung pada jenis pengeluarannya. Tepatnya, untuk makanan dinyatakan selama seminggu yang lalu, yang dihitung menjadi rata-rata untuk sebulan. Sedangkan untuk non makanan, meliputi pengeluaran sebulan yang lalu dan tiga bulan yang lalu, kemudian dihitung menjadi pengeluaran rata-rata selama sebulan.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
DKI Jakarta pada 2022 mencatatkan peningkatan proporsi pengeluaran untuk non makanan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan meningkatnya konsumsi perumahan dan fasilitasnya. Sejak 2020 hingga 2022, tren proporsi pengeluaran untuk makanan cenderung menurun.
Pada 2022 juga, Kepulauan Seribu menjadi wilayah administrasi di DKI Jakarta yang mengalokasikan pengeluaran sebulan untuk konsumsi makanan dengan persentase tertinggi, hingga 62,12%. Sedangkan Jakarta Utara merupakan yang terendah dengan 32,12%. Secara rata-rata, konsumsi makanan masyarakat DKI Jakarta adalah Rp953.321,00 dan sebagian besarnya digunakan untuk membeli makanan dan minuman jadi, ikan, telur, susu, serta sayuran. Pangsa pengeluaran makanan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan, makin besar pangsa pengeluaran makanan berarti ketahanan pangan semakin berkurang. Makin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu wilayah, pangsa pengeluaran makanan penduduknya semakin kecil.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Jika dilihat dari distribusi persentase pengeluaran untuk konsumsi makanan, bisa dibilang konsumsi rokok di DKI Jakarta termasuk tinggi. Terlihat pada grafik di atas, rokok dan tembakau masuk ke dalam lima besar komoditas makanan yang dikonsumsi (7,20%). Secara berturut-turut, komoditas tertinggi yang menjadi konsumsi masyarakat DKI Jakarta adalah makanan dan minuman jadi (39,95%), ikan (8,22%), daging (7,56%), dan sayur-rayuran (7,55%).
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Sebagian besar pengeluaran non makanan digunakan untuk konsumsi kebutuhan perumahan dan fasilitas rumah tangga. Bahkan, persentase komoditas tersebut mencapai 62,93%. Komoditas tersebut termasuk bahan bakar, penerangan, air, dan pulsa. Persentase tersebut terus alami peningkatan dikarenakan adanya kenaikan berbagai bahan baku konstruksi, termasuk kenaikan harga sewa/kontrak rumah, tarif dasar listrik dan tarif air leding (PAM). Terbanyak kedua merupakan aneka barang dan jasa (23,57%) diikuti pajak, pungutan, dan asuransi (6,93%), dan lainnya (3,71%).
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Penulis: Muhammad Iko Dwipa Gautama
Editor: Hepy Dinawati dan Farah Khoirunnisa
[1] Anker, Richard. 2011. Engel’s Law Around the World 150 Years Later. Massachusetts: Political Economy Research Institute University of Massachusetts Amherst.
[2] Chaterina dan Agustina. 2019. Pola Konsumsi, Elastisitas Pendapatan, Serta Variabel-variabel Sosial Ekonomi yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga: Studi Kasus di Provinsi Bengkulu Tahun 2018. Jakarta: Politeknik Statistika STIS.
[3] Britannica.com. https://britannica.com/biography/Ernst-Engel diakses pada 18 Januari 2023, pukul 11.22 WIB.