Ekonomi

Kesejahteraan Rakyat DKI Jakarta Tahun 2021

Kesejahteraan rakyat merupakan suatu hal fundamental yang ingin diciptakan dengan lebih baik dari tahun ke tahun. Undang-undang Dasar 1945, mengamanatkan, negara harus menghormati, melindungi, serta memenuhi hak-hak warga secara holistik, bermartabat, dan berdaulat. Manifestasi dari amanat tersebut adalah kesejahteraan rakyat Indonesia.

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) dalam buku Panduan Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR) (2012)[1], kesejahteraan secara sektoral adalah terpenuhinya hak dasar oleh orang per orang (individu), bukan oleh komunitas atau oleh negara. Misalnya, terpenuhinya hak atas pangan, sandang. Dengan kata lain, jika individu dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, maka ia dapat dikatakan sejahtera. Selanjutnya, ditetapkanlah indikator IKraR yang disepakati bersama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dan segenap institusi pemerintahan lainnya, bahwa terdapat tiga dimensi pengukuran dalam IKraR di antaranya: Dimensi Keadilan Ekonomi; Keadilan Sosial; serta Demokrasi dan Good Governance. Melalui artikel ini, akan dibahas kesejahteraan rakyat DKI Jakarta pada 2021 berdasarkan tiga dimensi pengukuran tersebut.

1. Dimensi Keadilan Sosial

Berdasar perspektif dimensi keadilan sosial, kesejahteraan rakyat merupakan suatu pencapaian yang dapat terlihat dari kesetaraan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat dalam kehidupan bersosial. Secara definisi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan sosial adalah kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup berdasarkan kemampuan aslinya. Komponen yang digunakan dalam dimensi sosial untuk melihat kesejahteraan rakyat meliputi hal-hal terkait pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat seperti akses terhadap listrik, rata-rata lama sekolah, akses pada kesehatan, rekreasi (olah raga dan seni), jaminan sosial, angka harapan hidup, akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta jumlah penduduk di atas garis kemiskinan.

Akses terhadap Listrik.

Listrik merupakan unsur penting dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari masyarakat. Kemudahan akses terhadap listrik menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan pada suatu daerah. Tercatat hingga akhir 2021, seluruh rumah tangga di DKI Jakarta telah mendapatkan akses terhadap listrik[2].

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Jika dibandingkan dengan periode tahun perhitungan sebelumnya yaitu 2020, jumlah rumah tangga pelanggan listrik PLN telah mengalami kenaikan 3,37% pada 2021 dengan jumlah pelanggan sebanyak 4,92 juta. Jenis pelanggan PLN meliputi beberapa kategori yaitu rumah tangga, usaha, sosial, perkantoran, dan industri. Rata-rata, daya listrik yang terjual juga mengalami kenaikan sebesar 1,60% di antara 2020 dan 2021. Dampak dari kebijakan Work From Home (WFH) terlihat dari jumlah daya listrik yang terjual. Sektor rumah tangga mengalami kenaikan sebesar 0,82%, sektor industri turut mengalami kenaikan sebesar 9,20%, sedangkan sektor perkantoran mengalami penurunan sebesar 2,03%.

Rata-rata Lama Sekolah

Sebagaimana yang tertulis pada Pasal 5 Ayat 1 Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Melalui pendidikan, masyarakat dapat menjadi cerdas serta memiliki kecakapan yang dapat dijadikan salah satu tolak ukur melihat kesejahteraan rakyat. Pengukuran tersebut dilakukan dengan melihat Rata-rata Lama Sekolah (RLS) atau rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan yang pernah dijalani.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Berdasarkan grafik di atas, terjadi peningkatan konsisten pada RLS di DKI Jakarta sejak 2017 hingga 2021. Pada 2021, RLS DKI Jakarta mencapai 11,17 tahun, dan lebih tinggi hingga 30,8% dibandingkan RLS nasional. Angka tersebut hampir mencapai 12 tahun atau setara dengan penyelesaian studi SMA. Lama studi hingga 12 tahun merupakan program wajib belajar yang dicanangkan untuk dapat segera dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006.

Akses pada Kesehatan

Kemudahan akses terhadap layanan kesehatan merupakan salah satu aspek yang memengaruhi kesejahteraan rakyat. Semakin mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, maka semakin sejahtera kehidupan masyarakat tersebut. Hal tersebut sesuai dengan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1 tentang Kesehatan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Pada tahun 2021, fasilitas kesehatan di DKI Jakarta meliputi 143 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), 32 Rumah Sakit Khusus, 19 Rumah Sakit Bersalin, 332 Puskesmas, 1.413 Klinik/Balai Kesehatan, dan 4.467 Posyandu. Total terdapat 6.406 fasilitas kesehatan yang tersebar di seluruh penjuru DKI Jakarta. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di DKI Jakarta, maka setiap satu RSUD diperuntukkan bagi sekitar 78.752 penduduk. Jumlah ini belum dinilai ideal mengingat kebutuhan layanan kesehatan bagi penduduk DKI Jakarta cuku tinggi. Meski demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu di tingkat puskesmas atau klinik/balai kesehatan.

Jaminan Sosial

Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara agar warga negaranya dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Sedangkan salah satu jaminan sosial yang penting terkait pemenuhan kebutuhan dasar adalah hak untuk mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Sebanyak 85,24% penduduk DKI Jakarta di tahun 2021 telah memiliki jaminan kesehatan berupa BPJS Kesehatan, dengan rincian 52,30% adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan 32,94% adalah Non Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI), sisanya penduduk juga telah memilih asuransi yang disediakan oleh kantor, swasta, ataupun Jamkesda.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Jika dibandingkan, persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan di DKI Jakarta lebih tinggi sebanyak 21,74% dari angka nasional. Hal ini menunjukkan bahwa di DKI Jakarta telah terdapat standar yang tinggi terkait jaminan sosial pada masyarakat.

Angka Harapan Hidup

Definisi dari Angka Harapan Hidup (AHH) sendiri adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur tertentu, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Singkatnya, AHH saat lahir adalah rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. AHH merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. AHH yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori, termasuk program pemberantasan kemiskinan[3].

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Baik penduduk laki-laki maupun perempuan di DKI Jakarta mengalami peningkatan AHH setiap tahunnya sejak 2016 hingga 2021. Meskipun AHH pada penduduk perempuan pernah mengalami stagnansi pada tahun 2016 ke 2017 dengan tetap berada pada 74,41 tahun, tetapi pada tahun–tahun selanjutnya terus mengalami kenaikan hingga mencapai 74,91 tahun. AHH pada penduduk berjenis kelamin perempuan cenderung lebih tinggi daripada laki-laki setiap tahunnya. Selanjutnya, jika dibandingkan  dengan angka nasional, DKI Jakarta tercatat lebih tinggi hingga 1,45 tahun.

Akses terhadap Air Bersih dan Sanitasi

Akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan salah satu indikator yang menjadi pertimbangan dalam melihat kesejahteraan rakyat. Sebagai sumber utama kehidupan yang digunakan untuk minum dan banyak aktivitas harian lainnya, air bersih merupakan suatu kebutuhan yang harus dapat diakses dengan mudah oleh warga. Grafik berikut adalah distribusi persentase rumah tangga yang mendapat akses air bersih dari empat jenis sumber: leding, pompa, air dalam kemasan, sumur terlindungi.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Berdasarkan grafik di atas, terdapat variasi sumber air bersih yang dapat diakses oleh rumah tangga di enam kabupaten/kota di DKI Jakarta. Hampir seluruh rumah tangga di enam kabupaten/kota telah memiliki akses air bersih hingga 100%, kecuali rumah tangga di Kepulauan Seribu yang tercatat masih memiliki persentase sebesar 99,77% terhadap air bersih.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Sementara, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap sanitasi layak di DKI Jakarta tidak pernah mencapai hingga 100% dalam kurun waktu 2019–2021. Persentase terendah ada pada Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 83,75% pada 2021. Secara keseluruhan, presentase akses terhadap sanitasi layak di DKI Jakarta keseluruhan adalah 95,17%. Angka tersebut konsisten meningkat setidaknya sejak 2019. Capaian tersebut juga membuat DKI Jakarta berada pada peringkat ketiga di Indonesia setelah DI Yogyakarta dan Bali dengan persentase masing-masing 97,12% dan 95,95%.

Jumlah Penduduk Miskin

Salah satu indikator dalam membahas konsep kesejahteraan rakyat menurut Indeks Kesejahteraan Rakyat (IKraR) adalah jumlah penduduk miskin. Semakin rendah jumlah penduduk miskin suatu daerah, semakin sejahtera pula penduduk daerah tersebut. Untuk membahas seberapa sejahtera masyarakat DKI Jakarta berdasarkan indikator ini, maka dapat dibandingkan antara persentase penduduk miskin DKI Jakarta dan rata-rata nasional.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Jumlah dan persentase penduduk miskin DKI Jakarta bergerak secara fluktuatif dari tahun ke tahun. Sejak 2016, jumlahnya cenderung mengalami peningkatan hingga 0,92% penduduk miskin pada akhir September 2021. Sementara, jika dibandingkan dengan nasional, persentase penduduk miskin di DKI Jakarta berada jauh di bawah angka nasional. Pada periode terakhir pengukuran yaitu September 2021, persentase penduduk miskin DKI Jakarta berada 5,04% lebih rendah dari angka nasional.

Tingkat Kesenjangan (Gini Ratio/Rasio Gini)

Pertumbuhan ekonomi di suatu daerah idealnya sejalan dengan distribusi pendapatan daerah tersebut. Jika ketimpangan pendapatan terlalu tinggi, maka hal tersebut tidak sejalan dengan kesejahteraan rakyat yang ingin dicapai. Rasio gini itu sendiri adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pengeluaran secara menyeluruh[4]. Nilai rasio gini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai rasio gini yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.

 

 

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Angka rasio gini DKI Jakarta pada pengambilan terakhir, September 2021, adalah 0,411. Angka tersebut 0.03 poin lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional. Artinya, tingkat ketimpangan ekonomi di DKI Jakarta tergolong tinggi karena berada di atas rata-rata nasional.

2. Dimensi Keadilan Ekonomi

Dimensi keadilan ekonomi dalam IKraR mengukur kemajuan indikator-indikator yang mencerminkan kepemilikan dan akses rakyat terhadap sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan. Beberapa indikator terkait keadilan ekonomi adalah perbankan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), jumlah penduduk yang memiliki rumah, dan jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja.

Perbankan

Merupakan salah satu indikator penting untuk melihat seberapa besar akses rakyat terhadap sumber daya ekonomi khususnya penyimpanan uang dan permodalan. Perbankan memiliki peran sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan. Berikut merupakan data transaksi perbankan di DKI Jakarta sejak 2017 hingga tahun 2021.

Sumber: Bank Indonesia

Dalam lima tahun terakhir, tren simpanan masyarakat di bank selalu naik. Tercatat hingga Desember 2021 posisi simpanan masyarakat DKI Jakarta di Bank mencapai Rp3.593,24 triliun yang terdiri dari 44,09% simpanan berjangka, giro 17,98%, dan tabungan 37,93%. Jumlah ini naik Rp470 triliun atau 15,07% dari 2020. Produk giro mengalami kenaikan Rp305 triliun (28,77%), tabungan naik Rp82 triliun (14,62%), dan simpanan berjangka naik sebesar Rp73 triliun (5,58%). Dari contoh transaksi perbankan yang mengalami kenaikan tersebut, menandakan bahwa perbankan di DKI Jakarta berjalan dengan baik untuk berkontribusi dalam kesejahteraan rakyat.

Jumlah Penduduk yang Memiliki Rumah

Salah satu indikator yang digunakan dalam perhitungan kesejahteraan rakyat adalah kepemilikan terhadap rumah. Indikator kepemilikan rumah ini menggunakan indikator Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang mengukur persentase penduduk yang memiliki rumah sendiri. Secara umum, status penguasaan bangunan tempat tinggal di DKI Jakarta terbesar adalah milik sendiri.

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia

Sedangkan jika dibandingkan dengan angka nasional, persentase penduduk dengan status kepemilikan rumah sendiri di DKI Jakarta terpaut sangat jauh dengan 32,06% lebih rendah atau hanya berada pada angka 48,48%. Artinya, persentase sisanya sebesar 51,52% adalah penduduk DKI Jakarta yang tidak memiliki rumah sendiri. Namun, persentase penduduk DKI Jakarta dengan kepemilikan rumah pada tahun 2021 ini meningkat hingga 3,44% dibandingkan tahun sebelumnya.

Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja

Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rakyat pada suatu daerah, perlu ditinjau kondisi ketenagakerjaan pada daerah tersebut. Semakin banyak penduduk yang bekerja, maka dapat dinyatakan sejahtera. Lebih detail, karena menurut International Labour Organization (IL0) umur seorang anak diperbolehkan bekerja adalah mulai umur 15 tahun, maka data yang dilihat adalah pada penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Pada 2021, terdapat 4.737.415 penduduk berusia 15 tahun ke atas yang menjadi pekerja di DKI Jakarta. Untuk membandingkan jumlah penduduk bekerja di DKI Jakarta dengan rata-rata nasional, digunakan indikator Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) untuk melihat banyaknya penduduk yang bekerja. Semakin rendah TPT, semakin banyak jumlah penduduk yang bekerja. Berdasarkan grafik di atas, TPT mengalami penurunan dari tahun 2020 ke 2021. Namun, dapat dilihat bahwa TPT DKI Jakarta masih berada sedikit jauh di atas TPT nasional yaitu 8,5% pada periode terakhir pengambilan data di 2021. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat angka pengangguran yang tidak sedikit di DKI Jakarta.

3. Dimensi Demokrasi dan Governance (Tata Kelola)

Dimensi terakhir yaitu Demokrasi dan Governance merupakan pengukuran kesejahteraan rakyat dilihat dari kemajuan pembangunan demokrasi yang menjamin hak rakyat berpartisipasi dalam keseluruhan proses pembangunan demokrasi secara mandiri tanpa diskriminasi. Tujuan dari dimensi ini secara umum adalah untuk mendorong tercapainya hak-hak rakyat atas rasa keadilan hukum dan dihormatinya hak-hak politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan bangsa. Indikator pada dimensi adalah rasa aman (human security), akses informasi, aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)

Salah satu indikator yang ingin dilihat pada artikel ini adalah terkait Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) sebagai alat ukur kuantitatif yang digunakan untuk mengevaluasi sejauh mana perkembangan dan penerapan demokrasi pada masing-masing daerah di Indonesia dan pada skala nasional sendiri. Hal ini berkaitan dengan jaminan kebebasan rakyat dalam mengemukakan pendapat sebagai salah satu bagian dari konsep kesejahteraan rakyat.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

Seperti yang dapat dilihat dari grafik di atas, IDI nasional dan DKI Jakarta cenderung bersifat fluktuatif. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tahun pengambilan data awal pada 2010 hingga tahun 2021, IDI keduanya mengalami kenaikan. Hingga akhir periode pengumpulan data, IDI DKI Jakarta berada 3.96 poin diatas IDI nasional menjadi 82.08 dan menjadi provinsi paling demokratis di Indonesia.

 

Referensi

[1] Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia (2012). Panduan IKraR Indeks Kesejahteraan Rakyat.

[2] Badan Pusat Statistik, Distribusi Persentase Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota dan Sumber Penerangan di Provinsi DKI Jakarta 2019-2021, diakses dari https://jakarta.bps.go.id/indicator/27/551/1/distribusi-persentase-rumah-tangga-menurut-kabupaten-kota-dan-sumber-penerangan-di-provinsi-dki-jakarta.html pada tanggal 29 September 2022, pukul 09.10.

[3] Badan Pusat Statistik, Angka Harapan Hidup, diakses dari https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/48 pada tanggal 30 September 2022, pukul 09.30.

[4] Badan Pusat Statistik, Gini Rasio, diakses dari https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/999 pada tanggal 30 September 2022, pukul 13.30.

 

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, Badan Pusat Statistik Indonesia, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, dan Bank Indonesia
Penulis: Farah Khoirunnisa
Editor: Hepy Dinawati