
Statistik Perumahan 2022: Mayoritas Rumah Tangga Masih Gunakan Asbes Sebagai Atap
Atap yang terbuat dari asbes, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, serat asbes yang terhirup dan masuk ke paru-paru dapat sebabkan masalah kesehatan
Istilah “sandang, pangan, dan papan” sebagai kebutuhan utama (primer) manusia mungkin sudah tidak asing di telinga kita. Ketiga hal tersebut memang merupakan kebutuhan mendasar manusia yang harus terpenuhi. Jika salah satu dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka dapat dikatakan kita tidak bisa menutupi kekurangan sebagai makhluk ekonomi.[1] Selain itu, ketiga hal tersebut memang dibutuhkan untuk manusia bertahan hidup.
Sekitar dua juta tahun lalu, Sebagian dari manusia kuno baik laki-laki maupun perempuan meninggalkan tanah air mereka[2]. Bisa dibilang, nenek moyang manusia pada saat itu hidup berpindah-pindah (nomaden). Selama jutaan tahun, manusia terus-menerus hidup berpindah, setidaknya sampai sekitar 12.000 tahun lalu, atau tepatnya, saat dimulainya masa bercocok tanam, bersamaan dengan berakhirnya zaman es. Manusia saat itu mulai merubah pola dari berburu-mengumpulkan (hunting-gathering) menjadi bercocok tanam dan pada akhirnya mulai tinggal menetap[3].
Catal Huyuk dipercaya merupakan salah satu kota pertama di dunia. Kota tersebut terletak di Turki, dan dibangun sekitar tahun 6.500 Sebelum Masehi (SM), tidak lama setelah masa bercocok tanam dimulai. Saat itu, letak satu rumah dengan yang lain masih berhimpitan, dan tidak memiliki pintu dan jendela. Para penghuninya, saat itu masuk melalui lubang yang berada di atap. Kemudian, semakin berjalannya waktu dan meluasnya pertanian di seluruh dunia dan semakin banyak manusia yang tinggal menetap, bentuk rumah pun semakin berkembang[4].
Sejak dulu, rumah memang memiliki fungsi untuk melindungi penghuni di dalamnya. Bedanya, pada zaman dahulu, rumah berfungsi untuk melindungi diri dari ancaman binatang buas dan cuaca yang tidak menentu, kini meski ancaman binatang buas sudah jauh berkurang, rumah tetap dapat melindungi kita dari cuaca yang kadang tidak menentu. Tempat tinggal dan lingkungan yang baik bahkan merupakan hak setiap warga negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman.
Kemudian, pada rumah masa kini, selain untuk melindungi, ada beberapa faktor yang membuat penghuninya nyaman untuk menempati rumah sebagai tempat tinggal. Misalnya luas lantai, yang semakin luas rumahnya (dapat tercermin dari luas lantai), semakin luas pula ruang gerak penghuninya. Selain itu ada beberapa faktor lain yang juga mendukung kesehatan penghuninya seperti jenis atap, sumber air, hingga bahan bakar utama untuk memasak.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Data BPS DKI Jakarta menunjukkan pada 2022 mayoritas warga DKI Jakarta, tepatnya 39,24%, bertempat tinggal di rumah seluas 20-49 m2. Kemudian, persentase tertinggi berikutnya adalah warga yang tinggal di rumah dengan luas 50-99 m2 sebanyak 23,87%. Sedangkan persentase paling sedikit adalah warga yang tinggal di rumah dengan luas lebih dari 150 m2 dengan 12,37%.
Distribusi luas lantai hunian memiliki kecenderungan yang sama di seluruh kota yang ada di Provinsi DKI Jakarta. Pengecualian ada pada Kabupaten Kepulauan Seribu yang mayoritas warganya tinggal di hunian dengan luas 50-99 m2. Bahkan, persentase warga yang tinggal di rumah dengan luas lantai seperti itu mencapai lebih dari setengahnya (50,1%). Kendati demikian, warga yang tinggal di rumah dengan luas lebih dari 150m2 juga merupakan yang paling sedikit di antara wilayah administratif lainnya dengan 4,54%.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Bagian lain dalam sebuah rumah yang tidak kalah pentingnya adalah atap. Karena atap lah yang melindungi penghuninya khususnya dari angin dan hujan. Meski bertindak sebagai pelindung, ternyata beberapa material pembuat atap juga berpotensi untuk memengaruhi kesehatan penghuninya. Sebagai contoh, atap yang terbuat dari asbes, jika digunakan dalam jangka waktu yang lama, karena material utamanya adalah karbon, maka serat asbes yang terhirup dan masuk ke paru-paru bisa menyebabkan asbestosis, salah satu penyakit paru kronis akibat paparan terhadap asbes dalam kurun waktu lama. Sebenarnya apabila material asbes dalam keadaan baik dan pelapisnya tidak rusak, maka serat yang terkandung tidak berbahaya[5].
Data BPS menunjukkan, pada 2022, mayoritas warga DKI Jakarta, atau sekitar 52,10%, memiliki atap yang terbuat dari asbes. Sedangkan yang terbanyak kedua adalah genteng dengan 37,21% dari total seluruh rumah tangga yang ada di DKI Jakarta. Harga asbes memang relatif lebih murah dibandingkan dengan genteng, meski kualitas genteng jauh lebih baik disbanding asbes. Selain itu, asbes juga tidak membutuhkan banyak kayu untuk pemasangan dan relatif lebih mudah untuk dilakukan instalasi.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Lain halnya dengan atap, yang secara tidak langsung berpengaruh pada kesehatan, air minum tentunya berdampak langsung. Apalagi, sumber air minum langsung dikonsumsi oleh tubuh, sehingga pengaruhnya terhadap kesehatan akan lebih besar. Sebagai contoh, air yang telah tercemar dapat menimbulkan beragam penyakit pencernaan seperti kolera, tifus, disentri, dan lain-lain dengan gejala diare.
Setidaknya selama lima tahun terakhir, mayoritas warga DKI menggunakan air kemasan sebagai sumber air minum utama, dengan persentase 76,55% pada 2022. Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan 2021 yang mencapai 79,78%. Air leding, sebagai sumber utama air minum kedua terbanyak, juga alami penurunan pada 2022 yang semula 8,11% pada 2021, menjadi 7,06% pada 2022. Sedangkan pompa air mengalami peningkatan sebesar 3,55% secara year-on-year. Bahkan, angka pada 2022 (15,53%) merupakan yang tertinggi setidaknya sejak 2018.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Sedangkan untuk memasak, mayoritas masyarakat DKI Jakarta menggunakan gas elpiji dengan persentase menyentuh hingga 94,93%. Sedangkan 3,29% masyarakat memilih untuk tidak memasak di rumah. Sementara itu, meski ketersediaan minyak tanah di DKI Jakarta semakin berkurang, namun setidaknya terdapat 0,54% rumah tangga yang menggunakannya sebagai bahan bakar utama untuk memasak.
[1] Tirto.com, Apa itu Sandang, Pangan, dan Papan Sebagai Kebutuhan Pokok? Diakses dari https://tirto.id/apa-itu-sandang-pangan-dan-papan-sebagai-kebutuhan-pokok-f9Fm. Tanggal 21 Desember 2022 pukul 09.56 WIB.
[2] Sapiens: A Brief History of Humankind (Harari, 2011)
[3] National Geographic, The Development of Agriculture, diakses dari https://education.nationalgeographic.org/resource/development-agriculture tanggal 21 Desember 2022, pukul 11.08 WIB.
[4] Local Histories, A History of Houses, diakses dari https://localhistories.org/a-history-of-houses/ tnggal 21 Desember 2022, pukul 11.24 WIB.
[5] Halodoc, Asbetosis, diakses dari https://www.halodoc.com/kesehatan/asbestosis tanggal 22 Desember 2022 pukul 08.41 WIB.
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
Penulis: Muhammad Iko Dwipa Gautama
Editor: Hepy Dinawati dan Farah Khoirunnisa